Kamis, 29 November 2012

Image
Makam Samsuddin Sumatrani
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.
Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.

Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.

Peranan dan PengaruhnyaPada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa. Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.

Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.

Karya-karyanyaDari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:

1. Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

2. Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3. Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).

4. Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

5. Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.

6. Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).

7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.

8. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.

9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.

Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.

Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.

Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).

Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.

Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, adalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).

Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:

"I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan."
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.
"Penerus Tradisi Penghafalan Al-Quran"
Image
K.H. Abdul Rozaq Shofawi
 Ia anak saudagar batik, tapi gaya hidupnya sederhana dan dermawan. Tarekatnya pun sederhana: sangat peduli pada masalah halal-haram.

Solo, 1985. Sudah lebih dari seminggu isu penjualan daging ayam –yang disembelih tidak Islami - merebak di tengah masyarakat, dan meresahkan umat Islam. Apalagi ketika itu hampir semua ayam potong yang dijual di pasar hanya berasal dari satu atau dua agen. Kegelisahan yang sama juga mengusik seorang kiai pengasuh sebuah pesantren di Kota Bengawan itu. Tak tinggal diam, ia segera bertindak. Setiap pukul dua dinihari, mengenakan pakaian seperti orang kebanyakan, ia melamar bekerja di agen pemotongan ayam. Dua jam kemudian ia kembali ke pesantren menjadi imam shalat Subuh.
Demikianlah, selama dua minggu sang kiai telah menyembelih ribuan ekor ayam untuk dikonsumsi masyarakat. Kesempatan itu juga ia manfaatkan untuk menularkan ilmu menyembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Setelah yakin penyembelihan ayam yang dilakukan karyawan lain sudah benar, ia pun mengundurkan diri sebagai tukang potong ayam.

Meski tampak sederhana, apa yang dilakukan sang kiai sesungguhnya luar biasa. Dalam pandangannya sebagai ulama, halal-haramnya suatu makanan bukan hal sepele. Sebab, di samping merupakan masalah hukum, hal itu juga sangat berpengaruh pada upaya pembangunan mental seseorang. Hingga kini, kepeduliannya terhadap persoalan halal-haram tetap kuat, bahkan menjadi salah satu thariqah-nya.

Siapa si tukang potong ayam itu? Dialah K.H. Abdul Rozaq Shofawi, kini 60 tahun, pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo.

Karena kepedulian itu pula Kiai Rozaq pernah menghukum sejumlah santrinya gara-gara mereka mengambil telur di dapur asrama. Bukan kerugian atas sejumlah telur yang dipersoalkannya, tapi status keharaman telur sebagai hasil curian itulah yang membuatnya marah.

Ia putra pertama K.H. Ahmad Shofawi, seorang ulama yang juga saudagar batik terkenal di Solo, sementara ibundanya adalah Siti Musyarofah, putri K.H. Abdul Mannan, perintis Pondok Pesantren Al-Muayyad. Ibundanya wafat ketika melahirkan anak ketiga – yang kemudian meninggal sebulan setelah sang ibu wafat. Sejak itu saudara kandung Kiai Rozaq tinggal adik perempuannya, Siti Mariah, istri K.H. Ma’mun Muhammad Mura’i, yang kini tinggal di Yogyakarta.

Perihal wafatnya sang ibu tak lepas dari cerita unik ala pesantren. Pernikahan kedua orangtuanya adalah atas perintah K.H. Ma’shum, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ketika itu usia Musyarofah baru belasan, sementara Shofawi – sahabat sang mertua semasa sama-sama nyantri – sudah sangat uzur. Kakak sulung Musyarofah, K.H. Ahmad Umar Abdul Manan, sangat gundah, karena ia berpikir adik perempuannya akan segera menjadi janda.

Maka Kiai Umar pun menemui gurunya, K.H. Manshur, mursyid Thariqah Naqsybandiyah di Popongan, Klaten, Jawa Tengah. Baru saja ia masuk, sang guru sudah lebih dulu berkata, “Berikan saja adikmu kepada Kiai Shofawi dengan ikhlas. Insya Allah adikmu tidak akan jadi janda.” Ramalan itu ternyata terbukti: justru Musyarofah yang wafat lebih dulu.

Tukang Cat

Meski putra saudagar, sejak kecil Abdul Rozaq memilih hidup prihatin. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia mencari bekal dengan bekerja serabutan. Di sela-sela waktu belajarnya, ia pernah menjadi tukang tambal ban di pinggiran jalan Kota Gudeg. Ia juga pernah bekerja di sebuah bengkel mobil sebagai tukang cat dan mekanik.

Tak mengherankan, pengetahuannya tentang dunia otomotif sangat dalam, bahkan di kalangan para kiai ia dikenal sebagai ahli mesin. Karena itu, di sela-sela mengasuh pesantren, suami Hj. Hindun Susilowati itu mempunyai hobi mengutak-atik mesin mobil. Itu sebabnya beberapa kiai sepuh ada yang minta tolong untuk memperbaiki mobil mereka. Selama di Yogya, Kiai Rozaq sempat belajar kepada K.H. Ali Ma’shum, pengasuh Ponpes Al-Munawwir (Krapyak), K.H. Dr. Tholhah Manshur, pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada, dan K.H. Masturi Barmawi, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Ketika baru menikah, ayah lima anak itu menghidupi keluarganya dengan berdagang es keliling, yang belakangan berkembang menjadi home industry. Setelah mengasuh Al-Muayyad, Kiai Rozaq sekeluarga hijrah ke kompleks Pondok Pesantren Al-Muayyad. Dipercaya meneruskan mengasuh pesantren Al-Quran membuat Kiai Rozaq merasa perlu meneruskan tradisi penghafalan kitab suci itu kepada putra-putrinya. Maka sejak kecil, putra-putrinya, yaitu Hj. Ari Hikmawati, H. Faishol Arif, H. Kholid, Hj. Himmatul Aliyah, dan Hj. Nailil Muna, dibiasakan menghafal Al-Quran. Bahkan, sebagai motivator, Kiai Rozaq selalu menyediakan hadiah setiap kali mereka berhasil menambah hafalan satu juz. Jangan heran, di usia muda mereka telah menjadi hufazhul Quran, penghafal Al-Quran.

Sejak masih muda, Kiai Rozaq sering diajak pamannya, Kiai Umar, mendiskusikan masalah kepengurusan pesantren. Satu hal yang ia kenang: sang paman selalu mendorongnya untuk melakukan inovasi, sementara sang paman hanya mengawasi sambil sesekali mengingatkan jika langkah yang ditempuh kemenakannya kurang sesuai dengan pikirannya.

Kepemimpinan yang bijak itu sangat membekas di hati Kiai Rozaq, sehingga di belakang hari ia juga selalu memberi kebebasan kepada stafnya untuk melakukan inovasi, sepanjang tidak bertentangan dengan garis-garis besar kebijakan pesantren. Ia begitu sabar membiarkan pengurus pesantren, yang rata-rata masih muda, mengutak-atik sistem kepengurusan dan membuat forum untuk mengkritisi sistem yang sedang berjalan.

Guru lain yang juga sempat menanamkan kearifan dalam diri Kiai Rozaq ialah ulama kharismatik yang tinggal di Mangli, sebuah desa kecil di lereng Gunung Merbabu, Kiai Hasan Asykari, yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Mangli. Sekitar tahun 1977-1980, ia mengaji sekaligus berkhidmah kepada tokoh yang pengajian mingguannya selalu dihadiri ribuan orang itu.

Selama tiga tahun, setiap minggu, Kiai Rozaq mengendarai sepeda motor menempuh perjalanan Solo-Mangli. Cukup jauh, karena Mangli terletak di wilayah Ngablak, Magelang. Jadwal pertemuan mingguan itu bertambah jika tiba-tiba Mbah Mangli memanggilnya untuk suatu keperluan. Sering Kiai Rozaq, yang kemudian dipercaya sebagai sopir pribadi sang guru, diperintahkan mengantar Mbah Mangli keliling Jawa selama seminggu penuh. Ketika berkhidmah kepada ulama kharismatik tersebut, banyak pelajaran berharga yang didapatnya.

“Ternyata Mbah Mangli benar-benar ulama yang dianugerahi kasyaf oleh Allah. Beliau weruh sak durunge winarah,” katanya. Maksudnya, sudah tahu sebelum suatu peristiwa terjadi. Pernah suatu ketika Kiai Rozaq diminta mengikuti sang guru ke suatu tempat. Sebelum berangkat, Mbah Mangli minta muridnya itu menempuh rute memutar jalan – rute yang tidak biasa. Menganggap jarak yang akan ditempuh semakin jauh, Kiai Rozaq memberanikan diri mengusulkan rute yang biasa. Karena Mbah Mangli diam saja, ia pun menempuh jalur biasa yang lebih singkat. Namun, di suatu tempat, perjalanan terpaksa terhenti karena jembatan yang harus mereka lewati baru saja ambrol.

Menurut penduduk setempat, diperkirakan waktu ambrolnya jembatan bersamaan dengan perintah Mbah Mangli kepada Kiai Rozaq untuk menempuh jalur memutar. Maka sang murid pun segera menyadari kesalahannya, dan minta maaf.

Santri Kesayangan

Setelah genap tiga tahun, Kiai Rozaq menyelesaikan pengajian – sesuai perintah sang guru. Hal ini pun sepertinya merupakan isyarat sang guru, karena tak lama kemudian K.H. Ahmad Umar, pendiri dan pengasuh pertama Ponpes Al-Muayyad, wafat. Karena almarhum tidak berputra, para kiai sepuh memerintahkan Abdul Rozaq – kemenakan tertua almarhum, yang memang sudah lama dibimbing oleh Kiai Umar – untuk mengasuh Ponpes Al-Muayyad. Padahal ketika itu usianya baru 36 tahun, terbilang masih terlalu muda untuk memikul amanat kepengasuhan yang cukup berat.

Dalam tradisi pesantren, kedekatan seorang santri dengan ulama kharismatik, apalagi menjadi santri kesayangan, merupakan sebuah keistimewaan. Dalam beberapa hal, posisi seperti itu sering kali juga menjadi semacam pengakuan atas kapasitas dan integritas si santri.

Dari Mbah Mangli, selain mengaji ilmu agama, Kiai Rozaq juga belajar ilmu kedermawanan. Menurutnya, dalam hal yang satu ini sang guru terbilang sangat luar biasa. Ia tidak pernah menolak pengemis yang datang meminta-minta. Dan, sebagaimana ajaran agama, sang guru selalu menasihati bahwa sedekah tidak pernah membuat seseorang menjadi miskin. Bahkan sebaliknya, dengan bersedekah, harta seseorang malah berlipat ganda karena berkah.

Namun, Kiai Rozaq sendiri mengakui, menjadi seorang dermawan bukan hal yang mudah. “Persoalan terbesar yang selalu menghadang orang yang ingin menjadi dermawan ialah penyakit hubbud dun-ya, terlalu cinta materi. Penyakit ini sangat berbahaya, karena bisa mematikan hati seseorang,” katanya. “Kerusakan moral yang melanda banyak pemimpin negeri ini berawal dari hubbud dun-ya itu. Ini bertolak belakang dengan contoh-contoh yang diajarkan oleh tokoh-tokoh Islam generasi awal,” tambahnya.

Jauh sebelumnya, pengalaman paling berharga mengenai kedermawanan itu didapatnya dari sang ayah, Kiai Shofawi. Saudagar batik yang kaya di Tegalsari, Solo, itu selalu menasihati putra-putrinya bahwa orang kaya harus menjadi semacam keran, yang selalu mengucurkan air bagi setiap orang yang membutuhkan.

Lagi-lagi pelajaran itu tidak hanya disampaikan dalam bentuk teori. Sepanjang hidupnya, sang ayah dikenal sebagai dermawan. Sering orangtua yang ingin memondokkan anaknya ke pesantren, tapi tak punya biaya, sowan kepada sang ayah. Maka bisa dipastikan, orang tersebut tidak akan pulang dengan tangan hampa. Hingga kini jejak kedermawanannya masih terlihat, berupa Pondok Pesantren Al-Muayyad dan Masjid Takmirul Islam, Tegalsari, yang merupakan amal jariyah almarhum. Bahkan Masjid Tegalsari, yang dibangun sekitar seabad silam, dan merupakan masjid swadaya masyarakat yang pertama di Solo itu, dibangun dengan sisa ongkos naik haji tiga orang ulama yang diberangkatkan dengan biaya Kiai Shofawi.

Konsisten sebagai pengasuh pondok pesantren, Kiai Rozaq sangat prihatin ketika akhir tahun lalu mendengar kabar adanya rencana untuk mendata sidik jari kaum santri. Maka dengan tegas mantan rais syuriah Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang Solo itu menolak. “Seharusnya pemerintah membaca sejarah. Sejak negeri ini belum berdiri, pesantren selalu berdiri di barisan terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dan setelah merdeka, kaum santri senantiasa mencintai dan membela tanah air dengan istiqamah,” kata Kiai Rozaq, yang sehari-hari biasa dipanggil Pak Dul.

Dalam sejarahnya, pesantren telah membuktikan diri sebagai lembaga pendidikan yang tangguh dan berhasil mendidik karakter para santri. Menurut Kiai Rozaq, kunci utamanya ialah keikhlasan para pengasuh dan pengajarnya. Sebab, kalangan pesantren menganggap bahwa ilmu – terutama ilmu agama – adalah amanah Allah yang muslim secara suka rela harus menyampaikan kepada setiap orang yang membutuhkannya.

Itulah sebabnya khittah pesantren Al-Muayyad ialah mendidik para santri – siapa pun orangnya. Maka tidak boleh ada kebijakan yang membuat seseorang terpaksa tidak jadi nyantri hanya gara-gara tidak mampu membayar biaya pendidikan.

Rabu, 17 Oktober 2012



BIOGRAFI PENGASUH
ROMO KH. ABDUL MUHITH ABDULLAH

Dikala kehampaan manusia akan ajaran-ajaran agama, di saat kehidupan haus akan orang-orang yang sanggup membangun dan meniupkan nafas segar bagi nilai-nilai kerohanian, maka hadirlah sosok figure yang mulya, beliau Hadratul Mukarrom KH. Abdul Muhith Abdullah yang menegakkan moral utama bagi manusia, yang dapat memberikan harapan, terniali bagi kehidupan manusia. Beliau tak ubahnya bagai telaga atau lubuk yang dalam, yang penuh kebesaran dan kesabaran, serta keuletan dalam menempuh lika-liku kehidupan yang penuh rintangan dan halangan.
Siapakah sosok ulama’ istimewa tersebut? KH.Abdul Muhith Abdullah, beliau adalah putra dari bapak Abdullah dan Ibu Siti Murji’ah. Beliau lahir pada tahun 1954 di desa Pakel Kelurahan Selopuro Kec. Welingi Kab. Kediri Jawa Timur.
Pada saat beliau berumur dua yakni tahun 1956 keluarga beliau sepakat hijrah ke Lampung, tepatnya di desa Bumi Mas Kec. Batang Hari kab. Lampung TImur. Sedangkan Bapak Abdullah waktu itu masih di jawa karena masih mengatamkan thoriqoh/suluk. Dan selang beberapa bulan Bapak Abdullah menyusul dan menetap di tersebut bersama keluarga.
Peredaran waktu dan perubahan zaman sangat menuntut generasi yang tangguh dan terpercaya. Maka dengan di pupuk asa hadratus syaikh menggali ilmu dengan bersekolah di SD, saat beliau berusia 7 tahun yaitu pada tahun 1961, namun hanya 3 tahun beliau sekolah. Pada tahun 1964 keluarga beliau hijrah di Sumbersari karena pada waktu itu Bapak Abdul Syakur dan Bapak Abdul latif Yasin telah selesai membuka dan menjadikan sebuah desa dengan nama Sumbersari.
Sebelum kedatangan KH. Abdul Muhith di Sumbersari telaha di dirikan lembaga pendidikan sekolah dasar islam (SDI) dengan nama Sabalil Huda yang di dirikan pada tahun 1963. Kemudian atas intruksi Departemen Agama nama SDI di seluruh Indonesia di rubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI). sehingga fenomena ini menjadi sebuah Madrasah Ibtidaiyah Sabilil Huda.
Tahun berikutnya terpatrilah keuletan dan ketabahan beliau, datanglah ujian dari Allah, yaitu orang tua beliau Ky. Abdullah di panggil di sisi Allah. Walaupun dengan cobaan yang dirasakan sangat berat beliau tetap tabah dan ikhlas dalam menghadapi kehendak dan takdirNYA yang telah di gariskan.
KH. Abdul Muhith tetap menjalankan aktifitas harianya, beliau tetap sekolah di MI Sabilil Huda hingga pada tahun 1967 beliau berhasil menamatkan sekolah MI tersebut. Karena pada waktu itu di sumbersari belum ada sekolah lanjutan, maka beliau menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikan di Sadar Sriwijaya, yaitu desa yang terletak di sebelah barat desa sumbersari. Beliau di sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA).
Setelah beliau sekolah di PGA, tepatnya pada tahun 1970 terciptalah keinginan untuk memperdalam ilmu agama, akhirnya beliau memutuskan untuk menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren. Karena kemantaban dan dorongan serta cita-cita untuk memperdalam ilmu agama, maka beliau sowan pada Hadrotus Syaikh KH. Ahmad Shodiq selaku pengasuh dan pendiri Pondok Pesantren Darussalamah yang akhirnya beliau menentukan untuk menimba ilmu. Berkat ketekunan dan kesabaran beliau menuntun ilmu di pondok pesantren Darussalamah yang berkisar 5 tahun  tepatnya pada tahun 1975, maka beliau dapat menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren tersebut.
Dengan memandang bahwa ilmu Allah begitu luas, maka KH. Abdul Muhit belum merasakan puas dengan ilmu yang beliau timba selama di Pesantren. Di hati sanubari beliau tersirat keinginan untuk melanjutkan kembali Tholabul ilmi. Dengan begitu timbullah di hati beliau, hendak kemanakah beliau akan melanjutkan Tholabul Ilmi.
Dengan berbekal keyakinan dan keteguhan hati serta iringan do’a, Abah KH. Abdul Muhith mendapat petunjuk dari Allah untuk bertholabul ilmi ke pulau jawa. Pada tahun 1975 beliau meninggalkan Sumbersari yang tercinta, dengan penuh harapan kelak pada masa beliau kembali dapat mengamalkan pengetahuanya di desa tercinta. Tujuan utama beliau adalah pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in yang berada di NGunut Tulung Agung Jawa Timur, yang pada waktu itu masih di asuh oleh Al-Maghfurlah KH. Ali Shodiq Umam.
Dimensi waktu bergulir dengan cepatnya, bertahun KH. Abdul Muhit mencurahkan masa mudanya untuk memperdalam ilmu agama sehingga beliau menyelesaikan tholabul ilminya. Setelah merasa cukup memperoleh bekal ilmu, kemudian beliau mengembangkan ilmunya di pondok pesantren tersebut. Kepercayaan sang Kyai, beliau di jadikan dewan pengajar dan mustahiq (wali kelas) dengan tugas itulah walau usia beliau telah beranjak, namun beliau belum berkeinginan untuk pulang dan menyebar luasnya ke kampong halaman.
Berpijak dari hal diatas Ky. Ma’sum Mustaram orang tua KH. Muhtar Sya’roni berinisiatif hendak menikahkan putrinya yang kesepuluh dengan KH. Abdul Muhith yang tidak lain adalah Ibu Nyai Umi Hani’ah Murtafi’ah adik KH. Muhtar Sya’roni dan juga salah seorang santri dari mbah Ky. Badrus (Purwosari, Kediri Jawa Timur).
Pada tahun 1980 terlaksanalah akad nikah antara KH. Abdul Muhith dengan Nyai Umi Hani’ah, meski KH. Abdul Muhith kembali lagi ke pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in untuk menyelesaikan tugas mulia sebagai mustahiq yang harus di selesaikan dahulu.
Selang waktu 3 tahun, tepatnya pada tahun 1983 datang lah saat yang dinantikan selama beliau menunaikan tugas. Berkat nasru minallah akhirnya tugas yang di emban beliau telah usai dengan izin dan do’a dari guru beliau, KH. Ali Shodiq Umam. Dan dengan bekal ilmu yang beliau kaji di pondok pesantren, pada tahun 1983 pula beliau pulang kekampung halaman yang mengaharapkan kehadiran beliau untuk nasrul ilmi wad din di desa tercinta.
Di desa sumbersari, beliau membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah bersama istri tercinta Ibu Nyai Umi Hani’atul Murtafi’ah sehingga membuahkan dua orang putra dan satu orang putri, yaitu Agus Muhammad Wildan Habibi, S.H.I, Neng Badi’atul Faizah dan Agus Muhammad Alfan Afifi.
Di desa itu pula KH. Abdul Muhith bersama KH. Muhtar Sya’roni berjuang menegakkan kalimah Allah dengan mendirikan Pondok Pesantren yang di beri nama MIFTAHUL FALAH.

By : ahmad Lutfi 


BIOGRAFI PENGASUH
PONDOK PESANTREN MIFTAHUL FALAH

ROMO KH. MUHTAR SYA’RONI MA’SUM


Waktu berlalu begitu cepat, bergulirnya waktu hampira tak tercatat, kegersangan hidup semakin nyata menghiasi roda-roda kehidupan, suasana semakin mencekap tatkala langit-langit cerah menjadi gelap, bumi gonjang-ganjing, bintang kelap-kelip,. Mungkin ini yang lazim di sebut dalam Pewayangan Timbul ingkang goro-goro. Keasrian alam mulai redup tertindih ketamakan manusia, yang selalu dahaga akan gemerlap kehidupan dunia. Di saat manusia lupa akan ajaran-ajaran agama, di saat manusia Way of lifenya, di saat itulah terbit mentari pagi yang menyinari kehidupan. Begitu halnya sosok hadlrotus syaikh Romo KH. Muhtar Sya’roni Ma’sum, sosok figure pemimpin laksana penerang kegelapan di zaman kebodohan umat manusia, siapakah beliau sebenarnya???.
Di kala surya keluar dari peraduanya, kabut-kabut yang menyelimuti bumi telah sirna karena sang penerang surya telah memancarkan sinarnya. Pagi itu, cuaca begitu cerah dan menghiasi sebuah rumah sederhana, milik Kyai Ma’sum Mustaram, yang bertempat tinggal di Desa Doko Kecamatan Gampeng Rejo Kediri Jawa Timur. Untuk mewujudkan asanya, beliau mempersunting Nyai muti’ah putri dari H. Ghozali dan Nyai Srikanah. Kemudian beliau berdua hidup bahagia, sebagai sakinah mawaddah wa rahmah yang selalu bersama melewati hari-hari indah penuh nuansa, dan selalu bersama meraut asa, meraih keridhoan Allah SWT, sang pencipta.
Pernikahan Kyai Ma’sum dan Nyai Muti’ah menghadirkan sebelas putra dan putri, salah satunya adalah KH. Muhtar Sya’roni Ma’sum yang merupakan putra keenam. Beliau lahir pada tahun 1954 di desa Doko, Gampeng rejo, Kediri Jawa Timur. Beliau yang pada saat itu berumur 2 tahun tepatnya pada tahun 1956 mengikuti orang tua beliau Ky. Ma’sum untuk hijrah ke Banyuwangi desa Silir Agung Kec. Pesanggrahan. Di Banyuwangi KH. Muhtar Sya’roni mengikuti pendidiakan Sekolah Rakyat (SR) yaitu sekolah dasar yang setara dengan SD yang pada saat itu selama dua tahun.
Di saat beliau berumur 11 tahun yaitu pada tahun 1965, beliau hijrah bersama keluarga ke Lampung dan bertempat di Sumber Agung (Mber Agung;Red) dan beliau meneruskan pendidikan di Sekolah Dasar (SD).
Satu tahun kemudian 1966 beliau sekeluarga pindah ke desa Sumbersari. Dan berawal dari perpindahan inilah titik awal perjuangan ayah beliau, yang tiada lain adalah Ky. Ma’sum Mustarom.
Sejak kecil KH. Muhtar Sya’roni dididik oleh orang tua beliau, berbagai dasar ilmu agama sebagai penanaman jiwa religious, karena dengan ini di harapkan beliau memegang teguh ajaran agama dan bias menjadikan jiwa beliau semakin cinta terhadap ajaran agama islam.
Setelah lulus SD Sumbersari, beliau melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Sabilul Huda (sekarang Darul Huda;red) dimana Mts ini didirikan pada tahun 1970, yang lokasikan + 100 meter dari pondok pesantren Miftahul Falah. Namun kehendak Allah berkata lain, pada tahun 1971 KH. Muhtar Sya’roni memutuskan untuk menuntut ilmu di Palembang, tepatnya di Pondok Pesantren Subulus Salam Sriwangi Kec. Semendawai Suku III Kab. OKU Palembang. Meski beliau tidak sampai tamat belajar di MTs SAbilul Huda, beliau bertekad menuju Pondok Pesantren Subulus Salam yang di asuh oleh Hadlrotus syaikh KH. Abu Mansyur Syarif dan KH. Solhan yang berasal dari Ngawi dan Madiun Jawa Timur.
Beliau berangkat mondok pada saat beliau berumur 17 tahun dengan bermodalkan cengkir (kencenge piker;kuat pikiran dan keyakinan) serta didasari ketekunan dan kesabaran beliau. Begitulan romantika kehidupan yang di alami oleh KH. Muhtar Sya’roni yang selalu di selimuti oleh suka duka, dan tidak terasa beliau menyelesaikan belajarnya pada tahun 1977.
Kemudian beliau pindah belajar di Pondok Pesantren Darul Huda desa Lubuk Harjo, Kec. Cempaka OKU Palembang, dimana Pondok ini di asuh oleh KH. Muhammad Rusydi dan Kyai Kholil yang berasal dari Blok Agung Banyuwangi Jawa Timur dan beliau tamat pada tahun 1981.
Kemudian KH. Muhtar Sya’roni menuju pulau jawa untuk Tabarrukan (ngalab Berkah) dan mengaji di Pondok Pesantren Bustanul Arifin, Bato’an, Petok Mojo, Kediri jawa TImur. Setelah cukup belajar dan mengaji di pulau jawa akhirnya beliau memutuskan untuk pulang kekampung halaman tercinta yaitu desa Sumbersari Teluk Dalem Mataram baru Lampung Timur.
Menuntut ilmu di wajibkan bagi tiap-tiap muslim mulai dari ayunan sampai keliang lahat (kubur) dan oleh karena itu, setelah sampai di kampong Halaman, beliau berkeinginan mengaji di Pondok Pesantren Darul Ma’ad di desa Sadar Sriiwijaya Kec. Bandar Sribhawono Kab. Lampung Timur, dimana pesantren ini di asuh oleh KH. Atho’illah yang berasal dari Madiun Jawa Timur.
Demikian perjalanan KH. Muhtar Sya’roni bertahun-tahun menimpa diri dalam kancah penggodokan mental dan intelektual di berbagai Pondok Pesantren sehingga beliau semakin bertambah ilmu dan berwawan luas. Berkat ketekunan, kesabaran, riyadloh serta kecerdasan beliau, berhasillah semua yang di cita-citakan selama ini.
Sekembalinya dari Pondok Pesantren, beliau berjuang menegakkan kalimat Allah serta menyebarluaskan ilmu yang telah di pelajari, bersama dengan KH. Abdul Muhith Abdullah. Beliau mendirikan lembaga pendidikan sebagai manifestasi dari cita-cita luhur beliau untuk nasyrul ilmi waddin. Beliau mendirikan madrasah diniyah yang lambat laun berkembang dengan pesatnya, dan berangsur-angsur semakin banyak santri yang berdatangan, sehingga pada tahun 1982 lembaga pendidikan tersebut secara resmi menjadi nama pondok pesantren yang bersendikan asas ahlussunnah wal jama’ah dengan nama Pondok Pesantren  Miftahul Falah.
KH. Muhtar Sya’roni tetap teguh pendirian, belum menikah meskipun santri beliau sudah mencapai 150 Orang. Tetapi tak lama kemudian beliau menikah yakni pada tahun 1988. Kini beliau telah menemukan pendamping hidup dalam meniti Bahtra rumah tangga yang abadi. Beliau menikah dengan Nyai Umi Latifah Al-Hafidzoh putri dari mbah Kyai Abdul Mu’id keluarga besar pondok pesantren Minhajuth Tullab /  Keluarga Mbah KH. Manan Brasan Banyuwangi.
Dari pernikahan ini, putra putri dambaan hati, yaitu dua orang anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Diantaranya adalah Agus Muhammad Bahrul Ulum, Agus Muhammad Afifuddin, Nenk Siti Rohmatul Mahfudhoh, Nenk Rohmatul Mustaghfiroh, Nenk Mu’adatul Adawiyah. Demikian biografi hadlrotus syaikh KH. Muhtar Sya’roni Ma’sum dalam lika-liku perjalanan hidupnya. Semoga kita bias mencontoh kepribadian beliau. Amin….ya robbal ‘alamin.